Wednesday, July 25, 2007

‘KAN TERCIPTA HARMONI…(Kado 1)

Bulan Juli kayaknya jadi bulan pernikahan di kalangan teman-temanku. Jadinya beberapa tulisanku yang bakal diposting hari ini adalah ‘kado’ buat mereka. InsyaAllah akan ada 5 ‘kado’ (maksud hati sih pengen nyaingin trilogi buku “Kado Pernikahan Untuk Istri”-ku nya Fauzil Adhim…ha..ha..jauh banget ya………).

Harmoni atau keserasian/keselarasan dalam sebuah keluarga atau istilah islaminya sakinah, mawaddah wa rahmah adalah impian setiap pasangan, setiap keluarga. Ustadz Cahyadi Takariawan, ada 5 (Lima) Prinsip yang akan menjadikan Rumah Tangga harmonis (keterangannya ditambah2in pake bahasa sendiri _gpp ya ustadz), yaitu :
1. Menguatkan Motivasi
Menikah adalah ibadah kepada Allah, untuk merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Kekuatan motivasi –ini kata beliau– amatlah dahsyat untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Motivasi akan memberikan jalan keluar dari setiap permasalahan yang muncul.
2. Bersama Allah dalam Rumah Tangga
Kehidupan rumah tangga bagi seorang manusia adalah kehidupan unik yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Onak dan duri, selain cinta dan kasih akan senantiasa mewarnai hari-harinya. “Kejutan-kejutan” ini akan membuatnya putus asa, kecuali ia selalu memohon pertolongan Allah dalam menghadapi setiap ‘kejutan’ alias permasalahan yang muncul.
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (Al Anfal: 24).
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka” (Al Anfal : 63).
3. Menjaga Orientasi Syari’ah
Maqashid (tujuan, maksud, arahan) syari’ah senantiasa berorientasi kepada hadirnya kemaslahatan dalam segala aspek, dengan menutup peluang munculnya kemudharatan. Ini yang harus dipahami oleh semua orang. Bahwa kehidupan tidak hanya diatur oleh fikih semata, namun banyak sisi ajaran lain yang saling melengkapi. Fikih ibarat setimba air yang diambil dari sumur syari’ah yang tidak pernah kering.
Dalam pernikahan, ada satu syariat yang tidak pernah sepi diperbincangkan, yaitu soal poligami. Banyak yang mengatakan bahwa poligami adalah sunnah Rasul, tapi amat sedikit yang mengatakan bahwa monogami pun sunnah Rasul. Padahal, 25 tahun Rasulullah SAW hidup bermonogami, hanya sedikit sisa usia beliau yang berpoligami.
Ketika seseorang mulai ‘tergoda’ untuk berpoligami, menjaga orientasi syari’ah harus menjadi perhatiannya. Bahwa tujuan menikah adalah mendapatkan Sakinah (ketenangan), Mawaddah (cinta kasih) dan Rahmah (kasih sayang). Karenanya, walaupun suami tidak harus ijin pada istri, jika istri keberatan maka suami harus kembali bertanya “apa orientasinya menikah?”
Kisah yang dialami Fathimah –putri Rasulullah– dan Ali cukuplah menjadi contoh dalam memutuskan persoalan ini.
4. Indahnya Sikap Adil
Sikap adil adalah bagian yang sangat penting dalam menjaga kebahagiaan rumah tangga. Tidak akan ada cinta dan bahagia apabila tidak ada keadilan dalam kehidupan rumah tangga.
Lawan dari adil adalah zhalim. Seberapapun besar rasa bahagia di malam zafaf dan malam-malam pertama bagi sepasang pengantin, hal itu akan segera sirna apabila kezhaliman telah muncul.
Ada peran yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Peran yang telah diatur dengan syari’at haruslah dijalankan sesuai dengan ketentuan, sedangkan yang belum ditetapkan secara pasti harus di-komunikasi-kan dan di-musyawarah-kan.
Dalam hal ini cukuplah kita jadikan teladan kisah Umar yang ridha dimarahi oleh sang istri. Katanya, “Saya tetap sabar (atas perbuatannya), karena memang itu kewajiban saya. Istri sayalah yang memasakkan makanan saya, membuatkan roti untuk saya, mencucikan pakaian, dan menyusui anak saya, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu hati saya merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Karena itulah saya tetap bersabar atas perbuatannya itu.” Demikian penjelasan Umar ketika ditanya kenapa dia diam saja dimarahi sang istri.
5. Musyawarah dan Keterbukaan
Sedemikian penting musyawarah dalam pendangan Islam, sampai seorang khalifah bisa dicopot dari jabatannya oleh ahlul halli wal aqdi yang mengangkatnya, karena meninggalkan musyawarah. Seorang pemimpin cukuplah dikatakan sebagai rezim diktator atau tiran yang sewenang-wenang, lantaran ia meninggalkan musyawarah dalam mengambil kebijakan.
Sebagai aplikasi dalam kehidupan rumah tangga, tentu saja suami sebagai qowwam (pemimpin) tidak boleh semena-mena terhadap istrinya. Jangan sampai ke-tidak ridho-annya jadi dalih yang bisa membuat sang istri tertekan karena kekhawatiran dilaknat oleh Malaikat.

No comments: